Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kehidupan Freelancer Desainer Grafis

Seorang teman beberapa kali mention saya untuk ikut komentar dalam diskusi bagaimana seorang freelancer membagi waktu bersama keluarga. Sayang, saya tidak bisa komentar, karena tombol komentar tak muncul di laman saya. Maka, saya tulis catatan ini di sini. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

Beberapa orang berkomentar, "Enak, ya, kerja di rumah. Bisa bebas!"
Saat memandang kehidupan orang lain, rata-rata kita memang cenderung hanya melihat sisi enaknya saja. Karena itu, berkembang peribahasa: "rumput tetangga selalu tampak lebih hijau."
Benar, dengan menjadi freelancer, kita merdeka dalam soal waktu. Namun, jangan artikan merdeka dengan semaunya sendiri. Kita merdeka dalam hal memilih waktu dan irama kerja. Selebihnya, kita terikat dengan komitmen pada klien dan ... keluarga!
Di antara alasan yang mendorong saya kerja freelance adalah karena ingin punya waktu lebih banyak dengan keluarga. Tapi, realitanya, mewujudkan itu tidak semudah mengangankannya. Dunia freelancer berbeda dengan dunia karyawan. Freelancer tak memiliki gaji tetap dan teratur. Tidak seperti karyawan. Freelancer jika tak bekerja, dia tidak makan. "Ora obah, ora mamah", kata orang Jawa.
Kita ingin meluangkan banyak waktu membersamai keluarga. Tapi, ketika dompet meranggas, bagaimanapun tetap saja akan muncul rasa cemas. Walhasil, kita harus berpikir dan berusaha keras agar tak sampai kehabisan beras. Akhirnya, waktu bersama keluarga pun tetap saja terbatas.
Oleh karena itu, bagi yang berniat resign dari kantor dan menjadi freelancer, buang jauh-jauh pikiran bahwa Anda akan santai dan hora hore. Kecuali, Anda tanam investasi pada usaha yang terjamin produktif, bebas hambatan, dan pengelolanya amanah. Jika tidak begitu, maka realistislah. Bayangkan bahwa Anda harus kerja lebih kreatif daripada ketika menjadi karyawan. Bahkan, bisa jadi, Anda harus kerja lebih keras!
Ada dilema yang biasanya menimpa para freelancer yang sudah berkeluarga. Di satu sisi, dia harus disiplin dengan jam kerja. Di sisi lain, ia harus membagi perhatian dengan keluarga. Apalagi, jika freelancer itu kerja di rumah, dan ia punya balita! ^ _ ^
Meskipun punya kamar kerja, studio, atau apapun namanya, dan sudah komitmen membuat jam kerja, tetap saja "iklan-iklan" dengan mudah berseliweran. Anak ngajak main, istri minta diantar ke sana sini, undangan kerja bakti, piring kotor di dapur menumpuk, atau sengaja ingin menemani istri.... ^ _ ^
Di antara iklan-iklan itu, yang paling berat saya rasakan adalah ketika anak ngajak main. Seperti yang saya katakan di atas, di antara yang mendorong saya resign dari kantor adalah ingin punya waktu lebih banyak dengan keluarga, terutama anak-anak. Maka, ketika anak ngajak main, padahal saya sedang deadline, di situlah muncul dilema. Mau menolak, kasihan. Toh dia hanya ingin bersama ayahnya. Toh ini kesempatan membangun kedekatan pada anak, apalagi di usia emas perkembangannya. Tapi, mau dilayani, pekerjaan sudah ditunggu klien. Dilema!
Kalau saya, biasanya tetap berusaha luangkan waktu untuk menemani anak walau sejenak. Biasanya istri akan mengingatkan kalau saya kelihatan tetap condong pada pekerjaan, sementara balita kami ngebet ingin main sama ayahnya. Maka, saya gendong si kecil, saya bacakan buku, atau main sampai beberapa saat lamanya. Setelah itu, saya akan pamit kerja.
Biasanya, respon anak akan menolak dan merengek minta main bareng terus. Tapi, saya jelaskan bahwa Ayah harus kerja, bla, bla, bla, lalu saya serahkan ke istri agar menemani dia bermain. Saya masuk kamar kerja. Pintu saya tutup. Itu jika sedang ada deadline.
Biasanya, "hutang waktu bermain" saya bayar di waktu lain. Saya katakan pada anak, Ayah selesaikan pekerjaan dulu, setelah itu kita main. Alhamdulillah, sejak menikah, saya dan istri sudah komitmen untuk tidak pernah membohongi anak. Seperti menjanjikan sesuatu agar anak tidak rewel, tapi janji itu tak ditepati. Termasuk.memberi ancaman hukuman yang tak pernah diwujudkan. No way! Sebab, itu salah satu racun ganas dalam pendidikan anak.
Kami berkomitmen membangun dan memelihara kepercayaan anak pada orang tuanya. Dengan demikian, menjadi mudah bagi kami ketika menuntut mereka agar selalu jujur dan menepati janji-janjinya.
Ketika anak minta main, saya katakan ayah selesaikan kerja dulu. Saya janjikan, misal, nanti kita jalan-jalan keluar. Betul. Selesai kerja, saya ajak anak jalan-jalan di sekitar kampung. Lihat ikan di kolam tetangga. Lihat kuda di kandang tetangga. Lama-lama, anak tahu, kalau ayahnya bilang harus kerja dan berjanji akan mengajak main kalau sudah selesai, maka dia tidak merengek lagi. Ini buah pembiasaan.
Jika tak ada deadline, perlakuan saya beda. Ketika anak minta main, ya saya temani dia bermain sampai puas. Terutama ketika anak kabur dari jadwal tidur siang, karena emaknya keburu tidur duluan. ^ _ ^
Soal jam kerja, saya sampaikan pada istri dan anak-anak bahwa meskipun ayah di rumah, bukan berarti ayah menganggur. Ayah tetap kerja, dan perlu waktu khusus untuk kerja. Anak-anak saya yang lebih besar biasanya malah yang menutup pintu kamar kerja saya karena tidak ingin suara berisik permainan mereka mengganggu ayahnya, atau ketika teman-temannya datang berkumpul di rumah.
Sekali lagi tentang dunia freelancer. Bagi Teman-Teman yang berpikir mau resign dari dunia kantoran, ketahuilah bahwa tak ada yang pasti dalam dunia freelancer. Penghasilan tidak pasti. Bahkan, pekerjaan pun tidak pasti ada. Kecuali, Anda memproduksi sesuatu dan menjual sendiri produk itu. Dengan membuat barang produksi yang teratur dikerjakan, baru Anda bisa dikatakan memiliki pekerjaan yang pasti. Penghasilanya? Tetap saja tidak pasti!
^ _ ^
Tidak pasti itu maknanya: bisa tak ada penghasilan sama sekali; bisa ada penghasilan tapi pas-pasan/cukup, atau bisa juga dapat penghasilan berlebih dalam takaran yang tak terduga. Terserah bagaimana Allah membaginya. Sisi positifnya, dengan menjadi freelancer; dengan serba ketidakpastian tadi, kita punya peluang lebih besar untuk menghayati tawakkal pada Allah.
Wallahu a'lam bish shawab. Saya rasa cukup. Semoga bermanfaat.

__

Tulisan ini di copy dari halaman facebook abunnada beserta gambarnya.

Post a Comment for "Kehidupan Freelancer Desainer Grafis"